Ramadhan. Bulan di mana manusia dipanggil untuk menahan lapar, tapi entah kenapa pasar justru semakin riuh. Aroma gorengan dan manisan bertaburan seperti godaan yang dijajakan oleh para pedagang setan. Pasar Waru adalah miniatur dunia: tawa, lapar, keinginan, dan, tentu saja, kebingungan.
Seperti menumpuk data tanpa filter, hidup kita bisa penuh dengan angka-angka yang menumpuk tanpa makna
Anak-anak berlarian di antara lampu kelap-kelip wahana permainan. Kereta
mini berjalan pelan, membawa mereka melingkar-lingkar, seolah hidup memang
begitu: berputar di tempat yang sama tapi merasa berpindah. Orang tua
mengantar, tapi sebenarnya siapa yang mengantar siapa? Mungkin orang tua
sedang mencari hiburan dari rutinitas, atau mungkin hanya sekadar ingin
merasa bahwa anak mereka bahagia. Sementara itu, dari kejauhan, suara
tadarus dan tarawih bergema. Ayat-ayat suci mengalir, mengetuk
dinding-dinding jiwa yang mungkin sudah lama retak.
Ada benturan yang tak kasat mata. Antara spiritual dan pasar. Antara sunyi
masjid dan riuhnya permainan. Seperti dalam lembaran Microsoft Excel, di
mana sel-sel data diisi dengan angka-angka kehidupan. Ada yang terformat
sebagai "angka-angka riang" penuh warna dan hiburan, ada pula yang
berupa "formula" yang mencari makna dan kebenaran.
Tapi seperti Excel, hidup juga membutuhkan keseimbangan. Salah
memasukkan formula, hasilnya bisa salah kaprah. Salah menempatkan nilai,
seluruh tabel makna bisa kacau.
Bukankah Ramadhan seharusnya seperti proses validasi data? Menyaring
mana yang benar dan mana yang hanya ilusi?
Dan ketika sore menjelang, kuliner mulai berbaris di sepanjang jalan. Bau
gorengan menampar hidung yang lapar. Aneka takjil tersaji seperti parade
kecil bagi nafsu yang sudah ditahan sejak pagi. Ironis, bukan? Puasa adalah
menahan, tapi buka puasa adalah melampiaskan.
Seperti menumpuk data tanpa filter,
hidup kita bisa penuh dengan angka-angka yang menumpuk tanpa makna.
Lalu di mana letak sederhana yang diajarkan Rasulullah? Atau mungkin kita
memang terlalu sibuk mengisi perut, hingga lupa bahwa Ramadhan adalah
perjalanan menembus lapar menuju makna.
Pasar Waru mengajarkan tentang keseimbangan. Tapi keseimbangan bukanlah
soal angka yang sama. Ia adalah tentang bagaimana setiap langkah dipilih
dengan kesadaran. Apakah kita makan karena lapar atau karena takut terlihat
kekurangan? Apakah tawa anak-anak di kereta mini adalah tawa kebebasan, atau
sekadar pelarian dari kenyataan? Seperti dalam Excel, kadang kita harus
melakukan "sort" dan "filter" dalam hidup. Memilah mana yang penting dan mana yang sekadar gangguan
visual yang memperlambat proses menuju makna.
Ramadhan seharusnya menjadi ruang untuk bertanya. Bukan ruang untuk
menjawab. Karena setiap suapan, setiap tawa, setiap langkah di pasar yang
riuh itu, menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang kadang kita takut untuk
menjawabnya. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk itu, kita akan menemukan
jawaban yang paling jujur: bahwa hidup memang sesederhana menahan lapar,
tapi serumit memahami mengapa kita harus menahannya.
Pasar Waru, dengan segala riuhnya, bukan sekadar tempat berjualan. Ia adalah cermin kecil dari pergulatan batin manusia. Antara yang sakral dan profan. Antara yang sunyi dan yang riuh. Dan Ramadhan, dengan segala rahmatnya, bukan hanya soal berapa banyak yang bisa ditahan, tapi berapa banyak yang bisa dimaknai dalam setiap detiknya. Seperti dalam lembar kerja, hidup membutuhkan "formula" yang tepat agar hasil akhirnya bukan sekadar angka, tapi makna yang sejati.
#RamadhanBerkah #PasarRamadhan #RefleksiRamadhan #MaknaPuasa #KeseimbanganHidup #KontemplasiDiri #SpiritualitasRamadhan #KulinerRamadhan
0 komentar:
Posting Komentar