Jumat, 14 Maret 2025

Ramadhan di Pasar Waru: Menyusun Formula Makna

Ramadhan di Pasar Waru: Antara Spiritual dan Duniawi


Ramadhan
. Bulan di mana manusia dipanggil untuk menahan lapar, tapi entah kenapa pasar justru semakin riuh. Aroma gorengan dan manisan bertaburan seperti godaan yang dijajakan oleh para pedagang setan. Pasar Waru adalah miniatur dunia: tawa, lapar, keinginan, dan, tentu saja, kebingungan.

Seperti menumpuk data tanpa filterhidup kita bisa penuh dengan angka-angka yang menumpuk tanpa makna

Anak-anak berlarian di antara lampu kelap-kelip wahana permainan. Kereta mini berjalan pelan, membawa mereka melingkar-lingkar, seolah hidup memang begitu: berputar di tempat yang sama tapi merasa berpindah. Orang tua mengantar, tapi sebenarnya siapa yang mengantar siapa? Mungkin orang tua sedang mencari hiburan dari rutinitas, atau mungkin hanya sekadar ingin merasa bahwa anak mereka bahagia. Sementara itu, dari kejauhan, suara tadarus dan tarawih bergema. Ayat-ayat suci mengalir, mengetuk dinding-dinding jiwa yang mungkin sudah lama retak.


Ada benturan yang tak kasat mata. Antara spiritual dan pasar. Antara sunyi masjid dan riuhnya permainan. Seperti dalam lembaran Microsoft Excel, di mana sel-sel data diisi dengan angka-angka kehidupan. Ada yang terformat sebagai "angka-angka riang" penuh warna dan hiburan, ada pula yang berupa "formula" yang mencari makna dan kebenaran. Tapi seperti Excel, hidup juga membutuhkan keseimbangan. Salah memasukkan formula, hasilnya bisa salah kaprah. Salah menempatkan nilai, seluruh tabel makna bisa kacau. Bukankah Ramadhan seharusnya seperti proses validasi data? Menyaring mana yang benar dan mana yang hanya ilusi?


Dan ketika sore menjelang, kuliner mulai berbaris di sepanjang jalan. Bau gorengan menampar hidung yang lapar. Aneka takjil tersaji seperti parade kecil bagi nafsu yang sudah ditahan sejak pagi. Ironis, bukan? Puasa adalah menahan, tapi buka puasa adalah melampiaskan. Seperti menumpuk data tanpa filter, hidup kita bisa penuh dengan angka-angka yang menumpuk tanpa makna. Lalu di mana letak sederhana yang diajarkan Rasulullah? Atau mungkin kita memang terlalu sibuk mengisi perut, hingga lupa bahwa Ramadhan adalah perjalanan menembus lapar menuju makna.


Pasar Waru mengajarkan tentang keseimbangan. Tapi keseimbangan bukanlah soal angka yang sama. Ia adalah tentang bagaimana setiap langkah dipilih dengan kesadaran. Apakah kita makan karena lapar atau karena takut terlihat kekurangan? Apakah tawa anak-anak di kereta mini adalah tawa kebebasan, atau sekadar pelarian dari kenyataan? Seperti dalam Excel, kadang kita harus melakukan "sort" dan "filter" dalam hidup. Memilah mana yang penting dan mana yang sekadar gangguan visual yang memperlambat proses menuju makna.


Ramadhan seharusnya menjadi ruang untuk bertanya. Bukan ruang untuk menjawab. Karena setiap suapan, setiap tawa, setiap langkah di pasar yang riuh itu, menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang kadang kita takut untuk menjawabnya. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk itu, kita akan menemukan jawaban yang paling jujur: bahwa hidup memang sesederhana menahan lapar, tapi serumit memahami mengapa kita harus menahannya.


Pasar Waru, dengan segala riuhnya, bukan sekadar tempat berjualan. Ia adalah cermin kecil dari pergulatan batin manusia. Antara yang sakral dan profan. Antara yang sunyi dan yang riuh. Dan Ramadhan, dengan segala rahmatnya, bukan hanya soal berapa banyak yang bisa ditahan, tapi berapa banyak yang bisa dimaknai dalam setiap detiknya. Seperti dalam lembar kerja, hidup membutuhkan "formula" yang tepat agar hasil akhirnya bukan sekadar angka, tapi makna yang sejati. 

#RamadhanBerkah #PasarRamadhan #RefleksiRamadhan #MaknaPuasa #KeseimbanganHidup #KontemplasiDiri #SpiritualitasRamadhan #KulinerRamadhan

0 komentar: